BANYUWANGI : Dalam kurun waktu dua minggu terakhir saya beberapa kali ke rumah sakit, yang pertama tiga hari berturut-turut bezuk saudara yang sedang rawat inap di salah satu rumh sakit swasta karena mengalami kecelakaan lalu lintas.Dan sekarang merupakan hari ketiga anggota keluarga saya sedang menjalani rawat inap di salah satu rumah sakit miik pemerintah di Kabupaten Banyuwangi.
Pada saat saya berada di kedua rumah sakit tersebut ada sesuatu yang mencuri perhatian saya yaitu ada papan/banner yang terpasang di rumah sakit yang melarang untuk melakukan dokumentasi di rumah sakit. Dalam baner dicantumkan tulisan “Demi kenyamanan pasien dan staf rumah sakit, dimohon untuk tidak mengambil gambar foto/video/audio di area pelayanan rumah sakit sesuai :
- Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29/2004, Pasal 48 dan 51
- Undang-Undang Telekomunikasi No. 36/1999, Pasal 40.
Namun kita juga sering menemukan berbagai video di media sosial yang diambil di rumah sakit atau layanan kesehatan lainnya. Mungkin ada orang yang ingin mendokumentasikan suatu kejadian, sesuatu layanan yang tidak sesuai standart layanan seperti malapraktik. Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan apakah larangan mendokumentasikan ini sesuai dengan hukum?
Hak Pasien dan Kewajiban Rumah Sakit
Sebelum kita bahas pokok pertanyaan di atas, kami akan menguraikan terlebih dahulu tentang hak pasien dan kewajiban rumah sakit. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (“UU 44/2009”), setiap pasien mempunyai hak diantaranya memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit dan mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.[1]
Selain itu, rumah sakit diwajibkan untuk, di antaranya, menghormati dan melindungi hak-hak pasien dan menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital by laws).[2]
Peraturan internal rumah sakit yang dimaksud adalah peraturan organisasi rumah sakit (corporate bylaws) dan peraturan staf medis rumah sakit (medical staff bylaw) yang disusun dalam rangka menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance). Dalam peraturan staf medis rumah sakit (medical staff bylaw) antara lain diatur kewenangan klinis (clinical privilege).[3]
Setiap rumah sakit juga harus menyimpan rahasia kedokteran yang hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.[4]
Rumah sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran. Apabila pasien dan/atau keluarga menuntut rumah sakit dan menginformasikannya melalui media massa, mereka dianggap telah melepas hak rahasia kedokterannya kepada umum. Atas hal tersebut, rumah sakit berwenang untuk mengungkapkan rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab rumah sakit.[5]
Larangan Mengambil Foto/Video di Rumah Sakit
Menjawab pertanyaan diawal, sebagaimana yang kami kutip dari artikel Etika Pengambilan Foto/Video di Lingkungan RS dalam laman resmi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), pengambilan foto di rumah sakit tidak boleh melanggar privasi pasien, keluarga pasien, maupun petugas rumah sakit. Jika pasien atau keluarganya dan staf rumah sakit tidak keberatan, maka pengambilan gambar boleh dilakukan dan tidak ada pelanggaran privasi. Namun, rumah sakit/klinik tetap disarankan agar membuat pengumuman yang melarang pengambilan gambar.
Namun pengumuman yang terpasang dan berisi larangan pengambilan gambar tersebut jelas-jelas mencantumkan dasar hukum yang kurang tepat karena bunyi pasal 48 Undang-Undang No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran tersebut mengatur tentang Rahasia Kedokteran, berbunyi :
Pasal 48 (1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. (2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundangundangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.
Sedangkan Pasal 51 berbunyi :
Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban : a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Pasal 40, Undang-Undang Telekomunikasi No. 36/1999, berbunyi :
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Oleh karena itu, menurut hemat kami, rumah sakit pada dasarnya berwenang untuk mengatur larangan pengunjung mengambil foto/video silahkan diatur dengan tata tertib rumah sakit ynag bersangkutan. Larangan ini semata-mata diterapkan untuk melindungi hak privasi pasien. Namun jangan mencantumkan peraturan yang kurang tepat seperti tersebut di atas.
Merekam Malapraktik
Lebih lanjut, terhadap orang yang mendokumentasikan suatu dugaan malapraktik, hal ini dapat dikatakan sebagai perekaman atas kejadian nyata. Merujuk pada artikel Bolehkah Merekam Suatu Peristiwa Secara Sembunyi-Sembunyi? perekaman terhadap kejadian nyata secara langsung dengan menggunakan kamera bukanlah termasuk pelanggaran Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”), karena tidak ada “transmisi” informasi elektronik yang diintersep atau disadap. Realita berupa suara atau kejadian yang direkam dalam satu tape recorder atau kamera sendiri bukanlah data elektronik, bukan informasi elektronik, dan bukan dokumen elektronik.
Dengan demikian, tindakan merekam itu sendiri tidak bertentangan dengan undang-undang. Namun, perekam yang menyebarkan rekaman tersebut kepada publik harus berhati-hati dengan kemungkinan adanya laporan dari pihak yang direkam. Apalagi jika dugaan malapraktik tersebut tidak terbukti. Pasal 45 ayat (3) dan (5) UU 19/2016 mengatur bahwa:
3. Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000, 00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
4. …
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan.
Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahhun 1999 tentang Telekomunikasi.
Ref :
Etika Pengambilan Foto/Video di Lingkungan RS, diakses pada tanggal 20 Januari 2020, pukul 17.48 WIB.
Catatan Kaki :
[1] Pasal 32 huruf a dan i UU 44/2009
[2] Pasal 29 ayat (1) huruf m dan r UU 44/2009
[3] Penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf r UU 44/2009
[4] Pasal 38 ayat (1) dan (2) UU 44/2009
[5] Pasal 44 UU 44/2009